Saat
senja menampakkan keindahannya
yang terlihat adalah aura ketulusan
keindahan sebuah lukisan senyuman
yang begitu meyakinkanku
kau adalah bidadari dari
tuhanku
karena aku melihat tuhan dalam dirimu
setiap hari selalu memuja keindahannya
begitu cepat pesonanya mengelabui jiwa
menghipnotis mata
menguasai seluruh isi hati
tak ingin terlewatkan setiap hari
jika saja ia adalah
sesuatu yg dapat dibeli
aku akan membuat istana
dari emas murni
jika dia suka puisi
aku bisa membuat yang
lebih indah dari troya homerus
jika dia ingin kesetiaan
dan perjuangan
aku bisa saja lebih dari
Qais kepada Laila
semua itu bisa, karena
aku ingin menikmatinya, selamanya.
perlahan, tuhan mengingatkanku tentangnya
keindahannya telah dipengaruhi oleh
tetangga
sehingga aku tidak lagi bisa menikmati
keindahan yang sangat mendamaikan jiwa
yang selama ini menjadi bianglala
bianglala itu telah mengagumi satu bintang
membuat aura ketulusan itu menghilang
hari-hari terasa begitu sulit terjalani
menyadari bahwa ia tak lagi menyanyi
serta puisi dan lagu-lagu yg menjadi
atmosfer keindahan
diantara kita kita telah mati
hari-hari terlewati seperti sungai di musim
kemarau
berapa kali tuhan mengingatkanku tentang
hal itu
saat haus aku tetap memberinya segelas air
pagi, siang, sore, malam
namun dia tidak pernah memberiku setetes
saja
bahkan malam itu yang diminum adalah air
yang lain
malam berikutnya aku tak memberinya lagi
setelah sekian hari terlewati tanpa
penglihatan
aku menyadari satu hal tentang perasaan
perasaan membutuhkan
merindukan
kehilangan
kepedihan hati merasa terabaikan
hampa rasanya melewati hari tanpa
melihatnya
walau hanya sebatas setatus di media sosial-nya
lalu aku mulai berpikir tentang cinta
inikah cinta atau hanya sebatas rasa yang
lewat
kalau bukan, mengapa rasa ini sangat
menjiwai
kalau ia, mengapa dia tidak juga mencintai
ya, kadang aku merasa itu terlalu lebay
tapi itu lah kenyataanya
cinta yg kurasa seperti kemilau bianglala
meniup api yang menyala
melebihi angin sepoy yg melambaikan ilalang
ditengah hutan yang penuh dengan mata elang
ditengah keramaian yang penuh dengan rayuan
melewatinya dengan senyuman
cinta ini mengalahkan konsistensi logika
yang terbangun rapi dalam konstruksi
dinamika-
perjalanan hidupku untuk menggapai
cita-cita
atau munkin cinta ini adalah bagian dari
cita-cita
entahlah,
pada akhirnya aku menyadari
munkin tuhan menciptakan keindahannya bukan
untukku
bukan untuk menjadi milikku
aku mulai berusaha melenyapkannya dari
memoriku
mengingat segala kekurangannya,
kejelekannya
cahaya redupnya
ular dilidahnya
pasir dimatanya
ya, itulah caraku melupakan sesuatu
dengan mengingat kejelekannya
aku sedang berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar